Rabu, 10 Juni 2015

Perempuan Tanpa Ambisi

Sampai detik ini, aku belum menemukan kosakata yang pas buat menggambarkan betapa 'gemes'-nya aku akan keputusan (yang menurutku) sentimental yang diambil oleh seorang dara cantik jelita bernama Chaeriah Wael, dan kami biasa memanggilnya 'Riri'.

Pas kami masih sama-sama ngalor ngidul di LMI, aku terbiasa melabeli dia (dalam hatiku yang busuk ini, tentu saja) sebagai "Perempuan Tanpa Ambisi."

Lihatlah. Seorang engineer lulusan STT Telkom, kampus prestisius itu, kok ya mau-maunya "cuman" ngurusin daftar hadir anak-anak LMI. Dan, ia kerap menjadi sasaran empuk, public enemy, karena seriiing banget ngingetin kita buat ngisi 'daily activity report' yang 'penting ga penting' itu.

Riri juga seolah 'tenggelam' oleh kedigdayaan partner 'hore'-nya Debi Kurnia, dan tentu saja 'Kanjeng Mami' mereka, Bu Citra Widuri.

"Kamu itu kok lempeng banget sih Ri? Kayak nggak punya ambisi apapun?" suatu ketika aku menginterogasi dia pas lagi nangkring di front office.
Riri tersenyum lepas. Manis banget. "Hihihi... sebenernya aku tuh ambisius loh Mbak.. Aku pengin ini, pengin itu... Tapi, nggak tau kenapa, tampaknya aku kayak 'nrimo' banget yak?"

Sampai suatu hari, Riri berpisah dengan kami, karena ternyata kali ini (sepertinya) ia pengin buktikan kalo ia juga punya ambisi. Dan, terdamparlah ia menjadi mahasiswi Pasca Sarjana Teknik Elektro ITS.

Lalu, kami bertemu lagi. Dalam sebuah laboratorium psikologi yang dirancang oleh Bu Citra Widuri. Aku sebelahan dengan Riri. Ia serius menekuri lembar jawaban. Dan aku udah ditelan kantuk yang tak berkesudahan. Trus, setelah semuanya selesai, entah kenapa, aku 'mati gaya' di sebelah dia. Enaknya ngomong opo yo? Riri buatku kala itu, super-duper nyungkani. Dan aku tetap melabelinya sebagai perempuan tanpa ambisi.

***
"Ririiiii...." kali ini aku berteriak pas lagi antre di Supermarket SAKINA. Aku belanja daily products bareng my little prince, Sidqi.
"Eh, Mbak Nurul... tunggu-tunggu... jangan pulang dulu, ini ada es krim buat Sidqi..." Riri buru-buru mengangsurkan es krim Wall's yang harusnya ia beli untuk dirinya sendiri, dan kini berpindah tangan ke anakku.
Sidqi (4,5 tahun) menerimanya dengan malu-malu. Dan, sepanjang perjalanan pulang, tak henti-hentinya Sidqi berceloteh soal 'malaikat' yang tadi ia temui di SAKINA. "Temennya Ibu kok baik banget, kasih es krim buat aku?"
Yeah. Perempuan tanpa ambisi itu memang punya daya spontanitas 'positive-energy' yang luar biasa.

***
Kali ini aku bersua lagi dengan Riri. Di Jawa Pos. Foto manis dia nongol di sana, dus sebongkah esai bertajuk "Saya Cuma Ibu Rumah Tangga". Hah. Ni cewek jago nulis juga ternyata. "Aku tuh sebenernya suka nulis Mbak... Dan aku seneng banget dengan notes-nya mbak Nurul di FB," suatu ketika Riri pernah membuatku melambung ke angkasa dengan puja-pujinya.
Buru-buru kupotret tulisan dia. Dan, kukabarkan ke temen2 LMI kalo Riri adalah salah satu kandidat yang siap menjadi jawara lomba, dan bertandang ke negeri Obama. Wah, perempuan tanpa ambisi itu ternyata siap melesat ke angkasa.

***
Aku berbakat jadi dukun, rupanya. Hehe. Riri jadi 5 Besar. Dan dia SEHARUSNYA mengantongi tiket untuk menuju sejumlah kampus kondang di Seattle USA, demi melakoni sebuah study tour yang (bisa jadi) hanya sekali seumur hidup mampir dalam kehidupannya.
Sederet oleh2 udah siap aku todongkan ke dia. Di antaranya, Thomas & Friends original toys, buat Sidqiku. Aku haqqul yaqin, Riri PASTI MAU beliin tuh kereta.
Tapi..... "Mbak Nurul pasti kecewa berat. Karena aku udah nolak hadiah untuk pergi ke Amrik."

Glek.

"Riri, are you OK?"
Kami saling ber-sms. Aku dengan kengototanku, bilang bahwa nggak seharusnya dia membuat kind of stupid, ridiculous, silly decision like that. *Ri, maap yah, kalo ini terlalu kasar, hehehe*

Dan, ternyata Riri pun punya prinsip, bahwa manakala ia harus ke Amrik,harus ditemeni mahram, karena termasuk Safar. 

Arrrghhh... Kok jadi aku yang stres???

Dan, dari sms-nya terkuak juga, bahwa dulu, Riri juga pernah batal menempuh studi di Jerman dan Australia, gara-gara aturan 'mahram' dan 'safar' itu tadi. Riri menyampaikan itu semua dengan sangat datar. Seolah-olah dia tidak sedang melakukan sebuah keputusan yang (menurutku) terkonyol sedunia. Halllooo, hari gini, dibayarin jalan-jalan gratis ke Amrik, dan DITOLAK begitu saja? Grrrr....

Yang jelas, sekarang aku tahu, kenapa senyum Riri begitu manis. Mungkin karena memang dia enggak pernah punya 'hurt feeling' terhadap pengalaman apapun yang dia terima. Bisa jadi karena ia tidak pernah terbebani oleh Target Hidup yang mendera lika-liku perjalanannya... Atau, singkatnya, kemungkinan besar, dia memang perempuan tanpa ambisi. And it's good. Nice to be your friend, Ri. So proud of you :-)
Hayoo... coba tebak Riri yang mana?

1 komentar:

  1. Wah sebenernya Riri potensial sekali ya kemampuannya. Mungkin dia memang punya prinsip yang berbeda saja ya dengan kebanyakan orang

    BalasHapus